Khamis, 11 Mac 2010

Bacalah dengan dada yang lapang

Disiarkan artikel bagi mengubat sedikit kerawanan dihati tentang segelintir manusia yang begitu lancar lidahnya memburukan Syekh al-Azhar yang baru saja pergi mengadap Illahi.


Sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dimaafkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.

Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93 H) berkata : “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu.”

Para ulama salaf yang lain berkata : “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya, maka dia adalah orang yang jahil (bodoh).” (Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr : II/48).

Abdullah bin Al Mubarok (wafat 181 H) berkata : ”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya, maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya, maka kebaikannya tidak perlu disebutkan.” (Siyar ‘Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi : VIII/352, cetakan pertama).

Imam Ahmad (wafat 241 H) berkata : “Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khurasan seperti Ishak bin Ruhawaih, meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat.” (Siyar A’lam An-Nubala’ : XI/371).

Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata : “Banyak para ulama ahli ijtihad dari masa salaf maupun khalaf mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dho’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan mereka berijtihad dalam sebuah masalah, padahal ada dalil-dalil yang menjelaskannya namun dalil-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” (QS. Al-Baqoroh : 286). Dalam Shahih Bukhori disebutkan bahwa Allah Ta’ala menjawab : “Sungguh, telah Aku lakukan”. (Majmu Fatawa : XIX/191-192).

Adz-Dzahabi (wafat 748 H) mengatakan : “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu”. (Siyar A’lam An-Nubala : V/271).

Beliau menambahkan : “Kalau setiap kali seorang ulama salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaafkan, kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang (ulama)pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhluk-Nya, dan Dia adalah Dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar.” (Siyar A’lam An-Nubala : XIV/39-40).

Beliau juga berkata : “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaan-Nya.” (Siyar A’lam An-Nubala : XIV/376).

Beliau menambahkan : “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi ukuran adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki.” (Siyar A’lam An-Nubala : XX/46)

Ibnul Qayyim (wafat 751 H) berkata : “Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak, dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalilnya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang ma’sum (terbebas dari kesalahan).”

Beliau menambahkan : “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang masih dapat ditolerir, yang malah ia mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin.” (I’lam Al-Muwaqqi’in : III/295).

Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795 H) berkata : “Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya.” (Al-Qawa’id hal. 3).


(Disalin dan diringkas dari buku “Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah”, oleh Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr, edisi terjemahan oleh Penerbit Titian Hidayah Ilahi)

Artikel dari Al-Fikrah.net(Igun).

Rabu, 10 Mac 2010

Pandangan dari Peguam Syarie

Peguam Syarie Menulis: Kuasa Sultan hanya kurangkan hukuman

Oleh Tuan Musa Awang
sekretariatpgsm@yahoo.com



ISU Kartika Sari belum lagi reda, walaupun sudah menampakkan titik noktahnya. Penulis menerima pertanyaan orang ramai setiap kali isu ini timbul sama ada Kartika akan diampunkan oleh baginda Sultan Pahang atau hukuman sebat akan tetap dilaksanakan?

"Tunggu dan lihat." Itulah jawapan saya. Walau apapun keputusannya, ia adalah suatu yang positif terhadap perkembangan undang-undang jenayah Islam di Pahang khususnya dan di negara kita.

Mahkamah Syariah memang sering dijadikan sasaran oleh pihak yang tidak senang dengan kewujudannya, sama ada oleh bukan Islam atau orang Islam sendiri sekalipun, tanpa justifikasi dan alasan kukuh. Walhal Mahkamah Syariah dan undang-undang yang terpakai di Mahkamah Syariah adalah berpaksikan kepada hak yang diberikan oleh Perlembagaan Persekutuan sebagai undang-undang tertinggi negara.

Malah ada juga pihak bukan beragama Islam yang berani mencadangkan supaya hukuman sebat syariah dihapuskan. Cadangan ini adalah sesuatu yang melampaui batas dan perlu dihentikan segera. Kenapa pula mereka mencampuri urusan umat Islam, sedangkan umat Islam tidak pernah mencampuri urusan agama mereka?

Kerana umat Islam berpegang kepada firman Allah dalam Surah al-Kaafirun, ayat 6 yang bermaksud: "Kamu dengan agama kamu dan kami dengan agama kami." Bukan Islam juga tidak perlu khuatir kerana undang-undang jenayah Islam dan hukuman sebat hanya dikenakan kepada orang Islam.

Kesalahan meminum minuman yang memabukkan di bawah Seksyen 136 Enakmen Pentadbiran Ugama Islam dan Adat Resam Melayu Pahang 1982 (Enakmen No. 8 Tahun 1982) jelas menyebutkan perkataan orang Islam iaitu: Sesiapa jua orang Islam dalam mana-mana kedai atau tempat awam, menjual, membeli atau meminum arak adalah melakukan suatu kesalahan dan apabila sabit bolehlah dihukum denda tidak lebih RM5,000 atau penjara tidak lebih tiga tahun atau kedua-duanya dan sebat tidak lebih enam kali sebatan.

Di setiap negeri, Sultan bertindak sebagai ketua agama dan mempunyai kuasa dalam perkara berkaitan hal agama Islam serta pentadbiran agama Islam. Bagi negeri yang tidak mempunyai institusi beraja seperti Melaka, Pulau Pinang, Sarawak, Wilayah dan Sabah, ketua agama yang bertanggungjawab ialah Yang di-Pertuan Agung.

Sebagai ketua agama negeri, baginda Sultan mempunyai kuasa eksklusif untuk mengurangkan atau meringankan, menambah atau mengubah apa-apa hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah.

Kuasa eksklusif ini terbahagi kepada dua keadaan berikut iaitu pertama apabila pesalah itu membuat permohonan rayuan kepada baginda Sultan dan kedua apabila baginda Sultan sendiri berkenan memberi pengampunan walaupun tidak dirayu atau dimohon oleh pesalah.

Dalam keadaan pertama, Seksyen 209 Enakmen 8 Tahun 1982 memperuntukkan bahawa baginda Sultan mempunyai kuasa untuk mengurangkan, menambah atau mengubah apa-apa hukuman yang dijatuhkan dengan syarat rayuan dibuat oleh pesalah terlebih dulu di Mahkamah Rayuan dan notis rayuannya hendaklah diserahkan dalam tempoh 10 hari daripada tarikh tamat ulang bicara kes itu.

Dalam isu Kartika, keputusan Hakim Mahkamah Tinggi Syariah yang menjatuhkan hukuman denda dan sebatan terhadap Kartika adalah bersifat muktamad kerana Kartika tidak merayu dan tempoh rayuan juga sudah tamat.

Namun dalam keadaan yang kedua, baginda Sultan mempunyai kuasa untuk meringankan hukuman dengan menggantikan hukuman yang berat kepada hukuman lebih ringan, walaupun tidak dirayu atau dimohon oleh pesalah atau tanpa persetujuan pesalah.

Seksyen 133 Enakmen Tatacara Jenayah Syariah Pahang 2004 (Enakmen No. 9 Tahun 2004) memperuntukkan bahawa: Yang di-Pertua Negeri atas nasihat Mufti boleh, tanpa persetujuan orang yang dihukum, meringankan mana-mana satu daripada hukuman yang berikut dengan menggantikannya dengan mana-mana hukuman yang disebut selepasnya, iaitu sebat, penjara atau denda.

Penulis memperbetulkan pemahaman sesetengah pihak, kuasa baginda Sultan yang diberikan oleh undang-undang adalah untuk meringankan hukuman yang dijatuhkan, daripada hukuman lebih berat (seperti sebatan) kepada hukuman lebih ringan (seperti penjara atau denda). Ia bukanlah bermaksud bahawa baginda Sultan mempunyai kuasa untuk mengampunkan terus kesalahan yang dilakukan seseorang seperti disabitkan oleh Mahkamah Syariah.

Dalam menjalankan kuasa menurut kehendak peruntukan Seksyen 133 itu, mufti negeri dikehendaki memberi nasihat kepada baginda Sultan sebelum kuasa meringankan hukuman itu dilaksanakan. Mufti akan memberi nasihat kepada baginda Sultan berdasarkan hukum syarak, sama ada hukuman enam sebatan atas kesalahan meminum arak selari dengan hukum syarak atau tidak.


Artikel dari Berita harian

Selasa, 9 Mac 2010

Wasiat Wajibah


 Kertas ini dibuat secara ala kadar....lum abih lagi tu,akan dibentangkan dalam Seminar Pesaka /Wasiat/Hibah dan Harta Sepencarian kepada warga(staff) Pejabat Felda di Pahang.# kertas disediakan..Wasiat Wajibah/HSP Felda/Pesaka.Sekadar untuk perkongsian..mudahan ada manfaat.

Taarif Wasiat

Pemberian disebut sebagai hibah secara umumnya.Jika dilakukan dengan niat mengeratkan silaturrahim atau persahabatan,maka disebut hadiah.Jika bertujuan mencari keredhaan Allah(pahala di akhirat) dinamakan sedeqah.[1].Jika pemberian disandarkan atau diserahkan sesudah kematian pemiliknya,maka itu dinamakan wasiat.

Wasiat diambil dari dari ungkapan `aku hubung atau sampaikan sesuatu dengan sesuatu`.Di mana pewasiat menyampaikan pesanan tentang urusan hidupnya dengan apa yang   akan berkaitan sesudah matinya.[2].Dari     sudut        bahasa       wasiat      bermakna
( pesan/perintah/nasihat/janji/hubung/menyampaikan) sebagaimana  Firman Allah:[3]
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
Maksud: `


Dan Firmanya lagi:[4]

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ


Maksud:


Firman Allah:[5]
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ


Maksud:Allah `memewasiatkan`dalam hal ehwal anak-anak kamu…..
Wasiat terbahagi kepada dua jenis,wasiat mengenai perbuatan dan wasiat bersangkutan harta (ain atau manfaat).fuqaha` membezakan istilah antara keduanya.Jika berkaitan dengan perlakuan( pewasiat berwasiat kepada seseorang untuk melaksanakan sesuatu tugas selepas kematianya) ia dinamakan `al-Wisoyah` atau `Al-Iiso`,manakala istilah `al-wasiah` lebih merujuk kepada wasiat mengenai harta samada ain atau manfaat.[6]Oleh yang demikian `al-wasiyah` menurut istilah fuqaha` adalah:

`Pemilikan yang disandarkan selepas kematian(wasi) dengan jalan/cara tabbaru` samada pemilikan itu berbentuk ain atau manfaat.`[7]

Dalam Qanun Wasiyat Mesir, wasiat dita`rifkan sebagai: Transaksi/pengendalian terhadap harta peninggalan(tarikah) yang disandarkan selepas kematian.[8]Ta`rifan ini merangkumi segala jenis transaksi yang dikategorikan sebagai wasiat

Pensyariatan Wasiat .
Hukum wasiat adalah dari arahan  Al-Quran(al-Baqarah:170/Al-Nisa`:11) Al-Hadis Riwayat Ibnu Majah(Lihat Nasb al-Rayah:4/399-400)(Nailul Author:6:33) (Sahih Al-Bukhari :No 2533)(Sahih Muslim:No 3074).

Wasiat Wajibah.
Hukum asal berwasiat adalah sunat dan digalakan,menurut jumhur fuqaha` dari mazhab yang empat,ini bermakna ianya tidak diwajibkan keatas seseorang melainkan adanya wasiat untuk melunasi dalam perkara hak Allah dan hak hamba.[9]

Oleh yang demikian apa yang dinamakan sebagia wasiat wajibah `adalah wasiat yang diwajibkan melalui kuatkuasa undang-undang`.Amalan ini(wasiat wajibah) adalah amalan popular di Negara Mesir dan Syria,mereka memasukan beberapa peruntukan undang-undang bagi melaksanakan perkara tersebut.[10]Di Malaysia sehingga kini Cuma negeri Selangor sahaja yang ada proviso mengenai wasiat wajibah[11]

Kertas ini adalah bertujuan untuk mengkaji asas wasiat wajibah dari sudut syarak dan juga undang-undang,serta maqasid al-syariah dari kesan perundangan mengenai hal tersebut.


Asas /Sumber Perundangan Wasiat Wajibah

Dari Al-quran:[12]

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ


Maksud Ayat:
Di wajibkan keatas kamu,apabila  tiba saat kematian(telah ada tanda-tanda kematian),dengan meninggalkan wasiat kepada kedua ibubapa dan kaum kerabat dengan cara yang baik(mengikut aturan syarak)sebagai satu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.


Menurut pandangan jumhur.asalnya wasiat adalah diwajibkan keatas kedua ibu bapa,para kerabat,namun kemudian ayat ini dinasakhkan kewajibanya oleh ayat faraid.[13]Pemansuhan ini didasarkan dari keterangan hadis riwayat al-Tirmizi,Ibnu Majah,al-Nasai dari Amru bin Kharijah:
إِنَّ اللَّه قَدْ أَعْطَى كُلّ ذِي حَقّ حَقّه فَلَا وَصِيَّة لِوَارِثٍ

Maksudnya:

That God has given each person his right there is no bequest to an heir.“Sesungguhnya Allah menetapkan hak bagi setiap empunyanya, oleh itu tidak harus berwasiat kepada waris”


Namun begitu sebahagian dari salafusoleh berkata ,pemansuhan kewajiban berwasiat sebagai mana `ayat mawarith`hanya terhad kepada kedua ibu bapa dan kaum kerabat yang saling mewarisi antara mereka,dan kewajiban berwasiat tersebut masih kekal selain dari itu,seperti kedua ibubapa yang masih kafir.

Kalimah `                      `dalam Surah Al-Baqarah tersebut adalah lebih umum dan merangkumi mereka yang boleh mewaris atau mereka yang tidak boleh mewarisi .Pada asalnya wasiat kepada mereak itu adalah wajib dan kemudian di khususkan oleh ayat mawarith yang mengeluarkan golongan yang saling waris mewarisi,sebagaimana disokong oleh hadis diatas.Maka bagi mereka yang tidakboleh mewarisi,hukum kewajiban wasiat tetap kekal.[14]

Pendapat ini adalah dipelopori oleh Qatadah,Jabir,Ibnu Hazm,al-Tobari,Abi Bakr Bin Abd Aziz,Syed Sabiq dan lain-lain.Pandangan ini begitu popular dikalangan Ulamak kontemporari di Timor Tengah.

Dapat dirumuskan pandangan ulamak dalam pentafsiran diantara kewajipan berwasiat(hukum asal) dan pemasuhan oleh ayat mawarith kemuadianya seperti berikut.

1.         Sebahagian Ulamak menyatakan ayat tersebut mansukh mutlak dengan ayat mawarith.

2.         Ayat tersebut tidak dimansukhkan,dan hukum nya kekal tapi di taqyidkan dengan hukum sunat dan digalakan bukan suatu kewajiban.

3.         Ayat tersebut tidak dimansukhkan,hukum wajib berwasiat kekal samada kepada keraba atau bukan kerabat,samada harta sedikit atau banyak.
4.         Ayat tersbut umum dan di takhsiskan oleh ayat mawarith,oleh yang demikian,kewajiban berwasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris(yang berhak pusaka) adalah kekal.[15]

Golongan diwajibkan wasiat(kuatkuasa secara undang-undang).

Kalau merujuk kepada Qanun Wasiat Mesir(Per 76-79).wasiat ini diwajibkan bagi cucu (dari nak lelaki)dan kebawah,dan juga cucu(dari anak perempuan-bagi tobaqat pertama sahaja).Qanun ini juga mewajibkan bagi cabang waris yang meninggal bersama(serentak) ayah dan ibunya dan tidak diketahu siapa yang mati dulu atau kemudian,seperti mati tenggelam,terbakar dan eksiden.Kematian sebegini yang tidak diketahu keadaanya(dulu dan kemudian)menyebabkan tidak dapat ditentukan secara faraidh kepada siapa hendak dibahagikan harta,keadaan begini ada  yang menyebabkan pihak yang tidak mendapat harta tarikah tersebut,maka bagi mengelakan perkara sebegini,proviso wasiat wajibah diperkenalkan.[16]

Syarat-Syarat

Qanun Wasiat Mesir menetapkan syarat seperti berikut:

1.         Hendaklah penerima(wasiat) cabang waris simati(yang tidak menerima bahagian pusaka) jika ahli waris pusaka,tidak berhak sama sekali walaupun sedikit.

2.         Hendaklah bukan dari pemberian  tanpa balasan(     ) seperti hibah,atau wasiat(biasa) atau lain-lainya.[17]

Cara Dan Kadar Pembahagian

Beberapa perkara bersangkutan dengan pembahagian:

i-          Setiap waris asal akan menghijab yang furu`,dan yang waris furu tidak menghijab antara satu sama lain.

ii-         Dikira bahagian setiap waris usul keatas furu` dengan pembahagian secara ta`sib

(Nisbah lelaki dan perempuan 2:1).



..........................perlaksanaan Wasiat Wajibah di Malaysia............akan datang noo.hehehehe.kalau rajinla..




[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib,,Mughni al-Muhtaj Ila Ma`rifah  Maani Alfaz Al-Minhaj lil Nawawi,Maktabah wal Matbaat Mustafa  al-Babi Al-halabi,Cairo,1933M,Juz 3:39.

[2] .Dr Mahmud Bilal Mahran,Ahkam al-Wasiyah Wa Maujiz Ahkam Al-Waqf  Fi  al-Fiqhi Wa Al-Qanun.,Dar Al-Thaqafah Al-Arabiyah,Qaherah,997,m.s 8.

[3] Al-Baqarah: 132.

[4] Al-An`am:151.

[5] Al-Nisa`:11.


[6] Kahtib Syabini,Mughni al-Muhtaj,3:39

[7] Dr Wahbah Al-Zuhaili,Al-Wasoya Wa Al-Waqf Fi  al-Fiqh Al-Islami,Dar Al-Fikr,Damsyiq 1996,ms 12.

[8] Perkara 1,Qanun Wasiat No 71 1946.

[9] Wahbah Al-Zuhaili,Al-Wasoya  Wa Al-Waqf,ms 105.

[10] .Per 76,77,78,79.Qanun Wasiat Mesir 1946/Per 257 Qanun Syria.

[11]  Enakmen Wasiat Orang Islam( Selangor).No 4 Tahun 1999-Seksyen 27.(lihat lampiran 1)
[12] Al-Baqarah:180

[13] Wahbah al-Zuhaili,ms 15.

[14] Dr Nohamad Abu Ela` Khalifah,Ahkam al-Mawarith,Maktabah Dar al-Salam,Cairo 2007,ms 630.
[15] .Dr Mahmud Bilal Mahran,Ahkam Al-Wasiyah,ms215.

[16] Dr Wahbah Al-Zuhaili,Al-Wasoya Wa al-Waqaf.ms107.

[17] Dr Mohamad Baltaji.Fi Al-Mirath Wa Al-Wasiyah,Maktabah Dar Al-Salam,2007,ms119.