Jumaat, 13 Jun 2008

Urf(adat resam) Sebagai Sumber Hukum (1)

Salam,

Sedikit perbahasan Ilmu Usul Fiqh.

Kalau kita lihat dalam perbahasan ilmu Usul Fiqh,dalam kontek sumber/dalil hukum, para ulama Usul fiqh-klasik dan kontemporari- menyatakan bahwa sumber atau dalil syara` itu selalu diklasifikasikan kepada adillah al-ahkam al-muttafaq `alaiha ) dalil-dalil hukum yang disepakati ) dan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha `(dalil-dalil hukum yang diperselisihkan ). [Sya`ban Zakiy al-Din, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta`lif, 1961, h. 25-31], [Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, h. 417], [Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1983, h. 21].

Adillah al-ahkam al-muttafaq `alaiha, menurut mereka, terdiri dari al-Qur`an, Sunnah, Ijma` dan Qiyas. Sedangkan adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha adalah istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, al-`urf, sad al-adzariah, mazhab shahabi, dan syaru` man qablana.

Penetapan adillah al-muttafaq `alaiha tersebut, menurut `Abdul Wahhab Khallaf, didasarkan kepada firman Allah dalam surah al-nisa`, 4:59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilahAllah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.”

‘Abdul Wahlab Khallaf selanjutnya mengatakan bahwa perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah mengikuti al-Qur`an dan Sunnah. Sedangkan perintah mentaati ulil amri di antara umat Islam mengandung pengertian mengikuti hukum yang telah disepakati para mujtahid, karena mereka adalah ulil amri dalam bidang hukum syara`. seterusnya, perintah mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti qiyas ketika hukum dari perkara yang diperselisihkan itu tidak dijumpai dalam nash dan ijma`.[ Abd al-Wahhab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1983, h. 21]

Hujah lain yan digunakan ulamak Usul ialah hadith Rasulullah ketika menugaskan Mu`az ibn Jabal ke Yaman menjadi qadhi (hakim). Ketika Rasulullah bertanyakan bagaimana cara Mu`az dalam menetapkan hukum suatu masalah.Mu`az berkata, “ Saya putuskan berdasarkan Kitab Allah ( al-Qur`an)”. Rasul bertanya, “ Jika tidak ada kamu temui dalam Kitab Allah?”. Jawab Mu`az, “ Saya putuskan dengan Sunnah Rasulullah.” Lalu Rasulullah saw. bertanyan lagi, “ Jika dalam Sunnah Rasulullah pun tidak kamu jumpai?” Jawab Mu`az, “ Saya akan berijtihad sesuai dengan pemikiran saya.” (H.R. Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn ‘Abdul Barr).*(Boleh lihat perbahasan status hadis di Nasb al-Rayah 4/63) Dan Ibnu Hazmin Menolak hadis ini(lihat al-Ihkam fi Usul al-ahkam 2)

Minoriti ulamak antaranya, ulama Zhahiriyyah menolak pendapat yang menempatkan ijma` dan qiyas sebagai dalil/sumber hukum yang disepakati para ulama(melainkan Ijmak Sahabat). Menurut mereka konsep ijma` tidak disepakati oleh seluruh ulama usul fiqh untuk dijadikan sebagai hujah, kerana, pengertian ijma` itu sendiri pun para ulama usul fiqh tidak sepakat. Al-Syafi`i sendiri hanya menerima ijma` apabila hukum ijma` itu merupakan konsesus para sahabat Rasulullah saw*. Kemudian, qiyas juga ditolak oleh ulama usul fiqh lain, seperti Syi`ah Imamiyyah dan Syi`ah Zaidiyyah; termasuk al-Auza`i dari kalangan Sunni ( Ahlussunnah ).[‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir, Nazhrah ‘Ammah fi Tarikh al-Islami, Cairo” Dar al- Kutub al-Haditsah, 1956, h.277,289] [ Muhammad Yusuf Musa, al-Madkhal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi,t.t. h. 171-178].* Imam Muhamad Abu Zahrah menyatakan: tidak kedapatan dalam mana-mana kalamnya(Imam al-Syafie) yang menunjukan beliau menolak ijamak selain ijmak sahabat,Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,Dar al-Fikr,452.)

Oleh sebab itu, menurut ulama Zhahiriyyah, tidak benar pendapat yang menyatakan ada kesepakatan para ulama usul menjadikan ijma` dan qiyas sebagai sumber hukum Islam yang disepakati.

‘Ali Hasaballah mengemukakan bahwa adillah al-ahkam itu ada yang bersifat naqli dan ada yang bersifat ‘aqli. Yang bersifat naqli adalah al-Qur`an, Sunnah, sedangkan yang bersifat ‘aqli adalah ijtihad, baik ijtihad itu bersifat fardi ( peribadi mujtahid tertentu ) maupun ijtihad yang bersifat jama’i( kolektif ). Oleh sebab itu, adillah al-ahkam, menurutnya terbagi tiga, yaitu al-Qur`an, Sunnah, dan ijtihad. Hal ini sejalan dengan hadits dari Mu`az ibn Jabal di atas.

Dalam pembagian ‘Ali Hasaballah ini, ijma`, qiyas, istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, al-`urf, mazhab shahabi, syar`u man qablana, dan sad al-dzari`ah termasuk dalam adillah al-ahkam al-syar`iyyah al-ijtihadiyyah ( dalil-dalil hukum syara` yang diperoleh melalui ijtihad ).[Hasaballah, Ali, Ushul al-Tasyri` al-Islami, Mesir: Dar al-Ma`arif, 1971, h. 15].

Oleh kerana itu, penetapan ijma` dan qiyas dapat dijadikan sebagai dalil yang disepakati kehujahannya lebih didasarkan statusnya sebagai dalil di kalangan Ahlussunnah. Para ulama usul fiqh dari kalangan Ahlussunnah memang sepakat menyatakan bahwa ijma` dan qiyas dapat dijadikan sebagai dalil syara`, sekalipun kedudukannya sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri sebagaimana al-Qur`an dan Sunnah.

Oleh sebab itu, untuk, menghilangkan kekaburan pengertian (sumber)mashadir al-ahkam al-syar`iyyah dan adillah al-ahkam al-syar`iyaah sebagaimana dihuraikan di atas, pembahagian yang dipilih adalah: pertama, sumber dan dalil hukum Islam ( yang disepakati ) dan kedua, dalil dan metode penggalian hukum Islam.

`Urf
Secara lughahnya, `urf bererti “ yang baik”. Sebahagian ulama ushul fiqh membezakan antara adat dengan `urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara`. Adat didefinisikan dengan:

Sesuatu yang dikerjakan secara lansung berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.

Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang mnegenai orang ramai, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk. Adat juga terjadi dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropika atau kawasan tertentu berbanding dnegan daerah atau kawasan biasa, atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropika, dan untuk daerah dingin terjadi kelewatan seseorang menjadi baligh dan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga boleh muncul dari hawa nafsu dan kerosakan akhlak, seperti rasuah, sebagaimana juga adat terjadi dari kess-kes tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.
Definasi `urf menurut ulama usul fiqh adalah,
“Kebiasaan majoriiy sesutau kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
[Ahmad Fahmi Abu Sunnah al-`Urf wa al-`Adah fi Ra`yi al-fuqaha`, Mesir: Dar al-Fikr, al-`Arabi, t.t., h. 8], [ Mushthafa Ahmad al-Zarqa`, al-Madkhal `ala al-Fiqhi al-Am, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid II, 1968, h. 840], [`Abdul `Aziz al-Khayyath, Nazhariyyah al-`Urf, `Amman: Maktabah al-Aqsha, h. 24].

Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa`mengatakan bahwa `urf merupakan sebahagian dari adat, karena adat lebih umum dari `urf. Suatu `urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan `urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan majorit masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkahwinan boleh diambil dari mas kahwin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.

Ada juga ulamak Usul tidak membezakan antara Urf dan Adat,bagi mereka:
Urf iaitu sesuatu yang telah menjadi kebiasaan kepada masyarakat dalam kehidupan harian sama ada perkataan mahupun perbuatan. Maka adat dan `urf menurut pandangan fuqaha memberi erti yang sama. Apabila mereka berkata ‘hukum ini sabit dengan `urf dan adat’ bukanlah bererti adat itu berlainan dengan `urf, bahkan kedua-duanya satu maksud sahaja, dan disebutkan kalimah adat itu untuk mengukuh sahaja.[ `Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz Fi Usul al- Fiqh, Baghdad,1987, h.252].

Tiada ulasan: