Sabtu, 6 September 2008

Penantian Suatu Penyiksaan?

Benarkah ungkapan tersebut?kenapa tak gunakan perkataan tunggu?takut kut kalau akhirnya disebut penunggu adalah satu penyiksaan heheheh.Dah 6 hari kita berpuasa yerr,korang puasa ke hari ni? Actually(heheh omputeh sikit)manusia sebenarnya sinonim dengan menanti atau penantian ni,kita sesntiasa dalam keadaan menanti.Takde benda dalam hidup ni kita tak kena nanti-cuba korang renung-renungkan.Tup-tup kita ada kat dunia,benda tu la(penantian) yang kita hadapi.Bermula kita menangis menanti mak kita berhenti bersembang dengan jiran sebelah untuk menyuapkan susu ke mulut,hinggalah menanti waktu masuk sekolah,menanti bila nak berkhatan sehinggalah menanti cikgu masuk kelas,menanti hari peperiksaan,hari keputusan peperiksaan,menanti orang masuk meminang,menanti saat naik pelamin,menanti saat nak melahirkan anak hinggalah menanti saat nak diajak kekubur.

Dan selepas matipun,kita akan terus menanti,samada bermula menanti soalan kubur,mananti saat bila nak dibangkitkan atau menanti sanak sedara yang masih hidup mendoakan kita atau sekurangnya datang bersihkan tanah kubur.

Apakah kerana setiap detik adalah penantian-yela kalau nak pergi kerja bermula dari tunggu bas hinggala ke nak punch punchkad,sampailah balik nanti-asyik menanti je,dari itulah gamaknya wujudnya ungkapan `penantian adalah suatu penyiksaan`.

Soalnya benarkah begitu?siksa ke keje menanti ni?perit sangatkan rasanya? cuba fikir2 dan imbas balik.kalau dah siap fikir tu apa kata kalau kita sepakat tukar-penantian itu sangat indah` bolehke? jom kita tengok.

Dek kerana bulan pose ni kita tak berapa banyak pakai otak(sebab ada kepercayaan menyatakan tanpa makan otak kita takde power-hehehe),meh kita fikirkan bersama hal ni,faedahnya mungkin takde,tapi takpelah,dah jenis cap orang kita ni buat kerje tak berfaedah ni adalah suatu hobi yang menyeronokan..hahahah.

Baik,la ni kita berpuasa.cuba bayangkan kita semua boleh berbuka pose bebila masa pun,pas zohor,asar hatta pas sembahyang subuh pun kita boleh balun apa yang kita nak.Gitu juga raya,semua dari kita boleh beraya bila-bila masa yang kita suka,tanpa kira bula,hari atau waktu.Pendek kata pas je balik sekolah kita berasa nak beraya,kita boleh beraya,boleh pakai baju melayu,siap sampin bersongkok pastu gi ziarah merata,ada berani?Percaya atau tidak tanyalah pada sesiapaun hatta Almad Albab pun,jawapanya -tak seronok takde thrill dan pose juga raya takan beri apa-apa makna.

Seterusnya mari kita angankan kita berkerja tanpa perlu tunggu hari gaji,malah baru je niat nak keje,jolok kat bank duit gaji dah masuk.atau kita fkirkan sebaliknya,bernatian keje gaji satu sen pun tak dapa,penoreh getah hari-hari menoreh,tapi susu setitikpun tak keluar,tapi gi juga noreh sekadar suka-suka ambil angin segar dalam kebun getah.Pejerja tak perlu lagi balik keje ikut `time` boleh belah beila masa yang dia suke,yela,keje pun bukanya ada gaji.

bayangkan juga sebagai isteri,anda tak perlu menanti suami pulang kerumah,mak bapak tak perlu tunggu anak balik,pekedai tak payah tunggu pelanggan,mamak roti canai main tebarn je roti,pastu biarlah camtu,petani pesawah tak perlu menanti hasil tanaman berbuah............seronok ka camtu?

Tak seronokkkk kan? so dimana salahnya penantian ni?kita seronok berpuasa sebab dalam puasa tu ada penantian-waktu berbuka puasa.Kita kecapi keseronokan berhari raya kerana hanya 1 syawal dan 10 zulhijjah je kita beraya.Kalau beraya hari lain kena pelangkong la jawabnya.Seronoknya nya bercinta kerana kan menanti saatnya dijibakabulkan.Jadi atas rasinal apakah kita menganggap penantian suatu yang menyiksakan?sedangkan masa yang sama kita kita menyedari hidup ini seronok kerana adanya penantian.

Sebenarnya kerana anggapan songsang kita tu la,telah mengajar kita kepada sikap gelojoh,tak sabar dan lekas marah dan tak tahan diuji.Asal kena tunggu sikit mulalah tarik muka dua tiga ekar.Kalaulah kita melihat penantian itu sebagai suatu nikmat dengan sendirinya keseronokan akan datang,Taklah lagi menanti waktu berbuka puasa dengan muka mengalahkan lanun teluk eden lagi.Kita jugak takkan tergamak berbuka pose tengah hari buta dan sekaligus taklah menjadi seperti beruk yang mana bulan pose dan bulan tak pose dua kali lima je.hehehheheeh

Olahan semula dari tulisan Mansasau (GG)

Ahad, 31 Ogos 2008

Ramadhan Kareem

Salam,

Umat Islam seluruh dunia termasuklah di Malaysia akan menyambut kedatangan Bulan Ramadhan mulai esok(?) InsyaAllah.

Di bawah ini disertakan tulisan Dr M. Quraish Shihab..

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wasahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan". Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapanselamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1kaki di) dataran rendah yang mudah." Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambutdan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa sajayang diinginkannya.

Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban yaRamadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita. Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuhguna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukaryang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambahtinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekadtetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampaktempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akanditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.

Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat. Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari". Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa di persamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa jenis puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
3. Puasa sunnah.


Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan. PUASA RAMADHAN Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama Sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan `ayyaman ma'dudat` ( beberapa hari tertentu) difahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185: Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan.

Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu. Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat isla muntuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun. Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkankepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)." Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari iatidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataanbahwa "berpuasa adalah baik." Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa.

Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannyadalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahsia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."